Film ini adalah film yang paling dinantikan dalam waktu dekat ini. Besar kemungkinan ia akan sukses di pasaran, mengingat novel yang menjadi dasar ceritanya laku keras.
Sebenarnya posisi saya tidak terlalu enak dalam mereview film ini. Ini karena saya memiliki kepentingan, karena film ini mau tidak mau mempromosikan tanah kelahiran saya, Pulau Belitung. Jadi orang tentunya bisa melihat bahwa review saya bisa jadi bias. Namun bagaimana pun saya akan mencoba mereview film ini seobjektif mungkin.
Film ini menurut saya akan menjadi “The Dark Knight”-nya film Indonesia. Ia akan over-rated, terutama sekali karena bukunya yang meledak. Orang Indonesia cenderung menilai sebuah film dari bukunya, tidak melihatnya sebagai sebuah karya yang lepas. Hal seperti ini biasaya tidak terjadi di Hollywood. Contohnya Da Vinci Code yang meledak di pasaran buku namun filmnya disambut dingin. Tapi kalau di Indonesia saya rasa masih terjadi.
Hal yang kedua, film ini juga akan over-rated karena ia mengusung nilai moral. Orang Indonesia cenderung memberikan nilai plus pada film yang mengusung nilai moral yang baik, dan memberi nilai minus untuk film kisah penjahat. Kalau di Indonesia dibuat film seperti GODFATHER misalnya, tanggapan masyarakat akan lebih dingin ketimbang film tentang pendidikan misalnya, sebagus apa pun film itu. Ini terbukti dari film “3 Hari untuk Selamanya”, yang di dalam filmnya banyak adegan ngeganja, dan otomatis diberi nilai minus. Film seperti “Kala” dan “Sembilan Naga” pun akan dinilai minus, seberapa bagus pun filmnya secara sinematografi.
Hal yang paling saya tunggu dari film ini adalah penampilan bintang film lokal. Mengarahkan anak yang belum pernah punya pengalaman main film bukanlah pekerjaan yang mudah buat timnya RIri Riza. Saya mau tidak mau akan membandingkannya dengan “Daun di atas Bantal” Garin Nugroho yang luar biasa, walaupun memakai pemain lokal. Di lain pihak ada keuntungan karena logat anak2 itu akan terlihat ideal. Cut Mini yang memang pernah tinggal di Malaysia saya kita juga tidak akan kesulitan mengucapkan dialek dalam logat Belitung yang sangat mirip dengan dialek Melayu Malaysia. Begitu pulang dengan Slamet Raharjo yang memang pernah tinggal di Belitung di masa kecilnya.
Satu hal yang saya tidak suka dengan Laskar Pelangi, karena terlalu memaksakan penulisan Belitong ketimbang Belitung (dan juga di dalam film, bukan hanya di buku). Ini saya pikir tidak perlu terjadi. Mangga yang dibaca monggo dalam bahasa Jawa pun tidak dipaksa ditulis dengan monggo. Dengan pemaksaan penulisan seperti ini saya kira bisa ditafsirkan sebagai etnosentris pengagungan kedaerahan. Pemakaian kata Belitung seperti yang sudah dikenal umum saya pikir tidak merugikan siapa-siapa, tidak usah diubah menjadi Belitong.
Akhir kata, selamat menonton mulai tanggal 25 September 2008.
Foto Orang Cakep

Sabtu, 06 Juni 2009
laskar pelangi
Diposting oleh enceng hendri gituloh di 20.07
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar